Jakarta – Indonesia Public Policy Institute (IPPI) menyebut haram hukumnya jika negara ikut melakukan intervensi terhadap penyelesaian konflik internal partai politik.
“Negara yang demokratis atau negara yang beradab itu diatur secara hukum, dan negara tidak boleh melakukan intervensi terhadap parpol,” tegas Direktur Eksekutif IPPI Agung Suprio, saat diskusi publik bertema ‘Berakhirkah Kisruh Di PPP Pasca SK Muktamar Bandung Di Tetapkan Menkumham ?’ di Cafe Dunkin Donut Jl. HOS Tjokroaminoto Jakarta Pusat, Selasa (3/5/2016).
Hal itu menyikapi peristiwa penyelesaian Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dimana beberapa hari yang lalu Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly telah resmi mengeluarkan Surat Keputusan Pengesahan Kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PPP. SK tersebut dikeluarkan setelah PPP selesai melaksanakan Muktamar VIII PPP di Asrama Haji Pondok Gede. Dengan Pengesahan Muktamar Pondok Gede, hasil Muktamar Bandung dinyatakan tidak berlaku. Dalam surat kepengurusan tersebut, Romahurmuziy ditetapkan sebagai Ketua Umum dan Arsul Sani sebagai Sekretaris Jenderal dengan nomor SK Menkumham RI Nomor M.HH-006.AH.11.01 Tahun 2016 tentang Pengesahan Susunan Personalia DPP Partai Persatuan Pembangunan Masa Bakti 2016-2021.
Menurut dia, dalam UU parpol negara hanya boleh melakukan dalam hal administrasi saja, dan parpol yang sedang mengalami polemik harus diselesaikan di Mahkamah Agung (MA). Selanjutnya, kata dia, MA harus diikuti oleh lembaga negara lainnya.
“Pemerintah telah memberikan contoh yang buruk atas penyelesaian konflik PPP. Harusnya Menkumham hanya menjalankan administratif dan harus tunduk pada putusan Mahkamah Agung,” ungkap dia.
Lebih lanjut, Agung mengapresiasi sikap para ulama dan sesepuh partai berlambang ka’bah yang berani mengkritik pemerintah demi kebenaran.
“Ulama PPP mempunyai jati diri dan jiwa kebangsaan. Tidak ikut sana, tidak ikut sini,” tandasnya.
Tinggalkan Balasan