catatan Dr. Syahganda Nainggolan
Menurut sosiolog Ervin Goffman, Hidup ini bak teater, sebuah Dramaturgi. Semua itu seolah 2 ada konteks nya, ketika mata tertuju ke panggung. tapi sesungguhnya ada sutradara yang mengetahui bahwa konteks itupun hanya untuk keperluan teater, selebihnya hanya sutradara dan penyusun cerita lainnya yang tahu.

Orang2 yang yakin bahwa Ahok itu tidak salah ketika melihat konteks (maksud dan tujuan acara, tempat acara, isi pidato secara utuh, dll, cara dan gaya berpidato, dll). Namun, dalam merefer Dramaturgi, “konteks” tadi juga sebenarnya hanya “konteks panggung”, yang bisa di bedah (dekonstruksi, konstruksi dan rekonstruksi sosial) bahwa sutradara melakukan setting “konteks” untuk maksud tertentu terhadap “penonton”.

Menurut saya, tim kampanye Ahok ingin melakukan “Pre emptive” untuk menyelesaikan isu SARA secara dini. Sehingga isu ini tidak muncul lagi pada bulan Februari.

Kesalahan terbesar Ahok dan Tim nya menurut saya adalah kesalahan assessment tentang situasi. Situasi saat ini beda dengan kandidat “senyap” yang muncul mendadak tanpa tercium media dan group Ahok, yakni Agus dan Anies.

Mengapa salah? Islam So Called radikal itu dipresentasikan oleh Yusril. Jika lawan Ahok itu Yusril, strategy Preemptive benar adanya. Memancing orang muak dan muntah dengan isu agama. Sayangnya, yang muncul sebagai lawan Ahok adalah Anies, seorang Islam Amerika, Islam Liberal, yang dimusuhi FPI, sebelumnya. Dan calon lainnya, Agus, seorang Islam Jawa atau istilah Clifford Geertz, Islam Abangan. Jadi skenario tina Ahok berbalik menghantam dirinya sendiri.

Itulah situasi yang saya coba pahami. Sebuah skenario kontra skenario. Sebuah Dramaturgi. Kata Ahmad Albar:

Temukan juga kami di Google News.