Jakarta – Direktur Strategi Indo Survey & Strategy (ISS) Karyono Wibowo menilai gerakan dari sebagian birokrat yang tergabung dalam Forum Birokrat Korban (Fobiak) Ahok merupakan peristiwa politik yang biasa-biasa saja, alias bukan sebuah peristiwa yang luar biasa atau bukan peristiwa politik yang tergolong extraordinary.

“Peristiwa semacam itu lazim terjadi pada momentum-momentum pilkada,” ungkap Karyono, Jumat (7/10/2016).

Sehingga, menurut pengamat politik ini, bukan lagi merupakan “barang aneh”. Apalagi, kata dia, masyarakat Jakarta cukup cerdas dalam menyerap informasi dan menilai opini. Pada momentum pertarungan politik seperti Pilkada, sudah biasa ada gerakan-gerakan dari pihak-pihak yang kecewa termasuk dari kelompok PNS atau pihak-pihak lain yang merasa dirugikan.
“Hal yang lazim juga di dalam perhelatan politik jika kompetitor Ahok mengkapitalisasi kekecewaan birokrat untuk dijadikan komoditas isu dalam pilgub DKI ini,” tutur dia.

Lebih lanjut, Karyono memastikan soal besar kecilnya pengaruh gerakan Fobiak Ahok terhadap tingkat keterpilihan (elektabilitas) petahana, akan tergantung pada seberapa besar jumlah PNS yang risisten dan seberapa besar PNS yang masih loyal terhadap Ahok dan seberapa kuat gerakan mereka mempengaruhi PNS dan unsur masyarakat.

“Berdasarkan fakta-fakta empirik, ada kecenderungan sebagian besar PNS akan memilih incumbent dalam pilkada. Tentu saja, ada sebagian PNS yang tidak memilih incumbent,” terang dia.

Lebih jauh, Karyono menegaskan sejumlah faktor yang membuat PNS cenderung akan memilih incumbent antara lain adalah kultur birokrat yang cenderung taat dan loyal pada atasan. Selain itu, lanjutnya, memang sulit dipungkiri, bahwa ada sebagian PNS yang merasa takut digeser dari jabatannya apabila tidak memilih incumbent.

“Faktor lainnya adalah kinerja incumbent yang dinilai positif oleh PNS,” sebutnya.

Terkait dengan seberapa besar pengaruh gerakan Fobiak Ahok, kata Karyono, dalam konteks mempengaruhi masyarakat untuk tidak memilih Ahok karena tidak mudah bagi mereka meyakinkan masyarakat di tengah semakin kuatnya image negatif birokrasi.

“Justru kondisinya bisa saja terbalik. Jangan-jangan yang akan terjadi adalah seperti kata peribahasa menepuk air didulang terpercik muka sendiri,” bebernya.

Sementara itu, tambah Karyono jika memang benar informasi yang beredar ternyata gerakan Fobiak Ahok bukan PNS tulen dan hanya seorang honorer yang dikeluarkan maka justru membuat blunder gerakan mereka sendiri.

“Jika faktanya demikian, maka justru membuat blunder gerakan mereka sendiri,” tandasnya.

Perlawanan PNS DKI ke Ahok Tulen atau Abal-Abal?

Organisasi perlawanan yang mengaku segelintir Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Pemprov DKI Jakarta mengatasnamakan Forum Birokrat Korban (Fobiak) Ahok dipertanyakan. Pasalnya, sosok misterius yang mengaku sebagai Koordinator Fobiak Ahok, Junaedi Nur status kepegawaiannya sebagai PNS tidak jelas keberadaan maupun posisi jabatannya yang bernaung di Pemprov DKI.

Bahkan saat ditelusuri di Pemprov DKI, Junaedi Nur ternyata diduga melakukan kebohongan publik mengaku-ngaku sebagai PNS, melainkan hanya sebagai seorang honorer yang pernah berdinas di bagian Biro Umum.

“Tidak ada PNS yang bernama Junaedi Nur. Ada dulu nama Junaedi Nur pegawai honorer yang keluar tapi bukan PNS. Junaedi dulu di Biro Umum,” ungkap sumber di Pemprov DKI yang enggan disebutkan namanya, Selasa (4/10).

Sumber mengaku sudah mengecek nama tersebut di Biro Umum, namun berkas-berkas data / profil Junaedi Nur sudah tidak ada lagi. Sebab, kata dia, nama Junaedi Nur sudah tidak aktif lagi di Pemprov DKI bahkan bukan seorang PNS. Sumber memastikan pernyataan Junaedi adalah upaya provokasi dan propaganda mengatasnamakan PNS Pemprov DKI, padahal bukan.

“Ya mungkin itu barisan sakit hati, tapi saya yakin pernyataan itu tidak langsung dari mulut PNS. Jika hal itu dilakukan ya sama saja bunuh diri,” terang dia.

Sumber lain juga menegaskan tidak mungkin ada PNS yang berani melawan atasannya sendiri apalagi dilingkungan Pemprov DKI.

“Ya saya yakin itu bukan PNS. Kalau bener ya mungkin dia barisan sakit hati dia,” tandasnya sambil tertawa.

PNS DKI Labrak Ahok

Sebelumnya, sejumlah PNS di Pemprov DKI Jakarta bekas anak buah Gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), sepakat membentuk organisasi simbol perlawanan, yaitu Forum Birokrat Korban (Fobiak) Ahok.

Koordinator Fobiak Ahok, Junaedi Nur mengatakan, organisasi tersebut dibentuk sebagai wujud otokritik terhadap perlakuan Ahok yang semena-mena selama berkuasa.

“Forum ini merupakan kumpulan para birokrat korban kebijakan-kebijakan Ahok,” kata Junaedi, Jakarta, Senin (3/10/2016).

Dijelaskan Junaedi, selama memimpin Ibu Kota kebijakan Ahok selalu mengutamakan pencitraan seolah-olah ada ketegasan terhadap para birokrat yang telah mengabdi puluhan tahun di Pemprov DKI.

Junaedi mengungkapkan, sejatinya pencitraan itu hanya sekedar untuk menutupi ketidakmapuan Ahok dalam mengelola pemerintahan.

Menurutnya, banyak kepentingannya yang menguntungkan pihak lain, namun ketika ada persoalan dibelakang hari, selalu anak buah para birokrat yang disalahkan.

“Bahkan ada birokrat yang kemudian dipidanakan. Padahal mereka menjalankan perintah atasan semata karena ketaatan mereka pada pimpinan tertinggi seorang gubernur,” sesal Junaedi.

Junaedi menambahkan, ketidakmampuan Ahok dalam mengelola pemerintahan serta mengeluarkan kebijakan yang tanpa perencanaan sangat rentan digugat dikemudian hari.

Hal itu bisa dilihat dalam kasus RS Sumber Waras, pembelian tanah Cengkareng, penggusuran di Jakarta Utara, serta pembebasahan lahan makam dan sebagainya.

Namun sayangnya, kata Junaedi, seluruh kebijakan tersebut berujung dengan dikorbankannya bawahan. Sementara Ahok berlaga bersih dan suci.

“Lebih parahnya kadang mereka dituduh melakukan kesalahan yang sudah di opinikan di media. Namun mereka sendiri tidak pernah melakukannya, sehingga mereka mendapat tekanan mental baik dari lingkungan kerja, bahkan lebih prihatin dari lingkungan keluarga,” terang Junaedi.

Junaedi menuturkan, sebenarnya banyak sekali birokrat serta pejabat DKI baik yang masih aktif maupun sudah distafkan ingin melawan.

Namun, mereka tidak memiliki keberanian, seperti beberapa pejabat lain yang berani minta mundur dari posisinya.

Sebab bila mereka berani menyampaikan keberatan secara terbuka, maka Ahok dengan segala dukungan medianya akan mem-bully bawahan tersebut seolah melakukan kesalahan besar sehingga opini berpihak pada keuntungan pencitraan diri sang gubernur.

“Untuk itu kami dari Fobiak Ahok, akan melakukan langkah-langkah perlawanan dengan mengungkapkan fakta sebenarnya yang terjadi atas kesalahan dalam pengelolaan pemerintahan yang telah jauh keluar dari etika birokrasi yang diatur oleh UU maupun PP,” beber Junaedi.

Junaedi menambahkan, perjuangan ini tentu akan membawa efek bagi karir mereka. Namun pengorbanan mereka tidak akan sia-sia bila masyarakat luas mengetahui sebenarnya seperti apa gubernur pencitraan yang saat ini selalu mengaku bahwa dirinya yang paling bersih, serta selalu merasa paling benar.

“Waktu akan membuktikan, fakta akan bicara, maka dari itu kami akan terus mengadvokasi para birokrat yang karirnya dirugikan serta dirinya terzolimi, semoga ikhtiar kecil ini akan membuka mata masyarakat Jakarta,” pungkas Junaedi.

Temukan juga kami di Google News.