Jakarta – Staf Khusus Presiden, Diaz Hendropriyono menyatakan, hubungan Indonesia dengan Amerika perlu ditingkatkan, tidak hanya dalam bidang investasi tetapi juga kerjasama intelijen. Namun hubungan kerjasama itu, tidak saja dengan Amerika, tetapi juga dengan negara lain, harus didasarkan pada kepentingan Nasional kita.

“Dalam kunjungan terakhirnya di Amerika, Presiden Jokowi mendapat komitmen investasi. Namun kita harus mengembangkan kerjasama bilateral lainnya, misalnya, kerjasama masalah intelijen, terutama yang berhubungan dengan hal yang penting saat ini, seperti hal cyber. Sehingga ada banyak hal yang bisa ditingkatkan dalam hubungan bilateral antara Indonesia dan Amerika Serikat,” ujar Diaz Hendropriyono ketika menjadi pembicara dalam acara konferensi kebijakan luar negeri Indonesia, di Kota Kasablanka, Jakarta Selatan, Sabtu, (17/9/2016).

Tak hanya persoalan di bidang intelijen, Diaz juga memberikan pandangan terkait kontroversi penutupan penjara Guantanamo Bay, Kuba. Penjara Guantanamo menjadi interest karena adanya Hambali disana.
Dalam kaitan dengan Pilpres yang sedang berlangsung di Amerika, Dia melihat, siapapun yang terpilih, apakah Donald Trump atau Hillary Clinton, tidak akan berpengaruh terhadap kelanjutan penjara Guantanamo.

Pasalnya, Donald Trump tidak berniat menutup Guantanamo dan Hillary Clinton yang juga berniat membawa tahanan Guantanamo ke pengadilan Federal, maka tidak ada perbedaan siapa yang terpilih dalam masalah ini karena pada akhirnya Hambali tidak akan kembali ke Indonesia.

“Namun, Indonesia tidak menginginkan Hambali untuk kembali ke Indonesia, seperti juga dikatakan oleh pak Luhut,” ujarnya.

Diketahui, Hambali yang diduga seorang WNI, merupakan satu dari ratusan tahanan yang masih mendekam di penjara Guantanamo per Desember 2014 silam.
Hambali yang memiliki banyak nama samaran, dianggap sebagai tahanan berisiko tinggi karena kedekatannya dengan petinggi al-Qaeda dan posisinya sebagai anggota senior Jemaah Islamiyah (JI) serta dituduh bertanggung jawab terhadap beberapa peristiwa pengeboman di Asia Tenggara, termasuk diantaranya bom malam Natal tahun 2000 dan bom Bali pada 12 Oktober 2002.
Topik lain yang menjadi perhatian Diaz Hendropriyono adalah, terkait Indonesia yang akan bergabung dalam Kemitraan Trans Pasifik atau Trans Pacific Partnership (TPP).

Ia menilai, konstalasi politik di Amerika saat ini, dari kedua calon Presiden Amerika Serikat (AS) tidak terlalu tertarik dengan gagasan Kemitraan Trans Pasisik ini.

“Masalah TPP. TPP penting diangkat karena Presiden Jokowi menyatakan keinginan untuk masuk ke TPP. Namun, kedua kandidat, Hillary dan Trump, tampak tidak tertarik untuk meneruskan agenda TPP ini,” kata Diaz.

Selain itu, kata dia, untuk berjalan, TPP harus diratifikasi oleh Kongres, dan tampaknya dengan komposisi Kongres seperti sekarang ini yang kurang pro Obama, akan sulit untuk diratifikasi oleh Kongres.

“Jadi, tidak akan ada perbedaan apakah Trump atau Hillary terpilih,” ucapnya.

Diaz mengingatkan, meski dirinya saat ini sebagai Staf Khusus Presiden, tetapi apa yang disampaikan merupakan pendapat pribadi.

“Ini tentu bukan sikap resmi pemerintah atau Istana, tetapi ini pendapat pribadi,” ujarnya usai acara.

Seminar dengan topik ‘In the era of Trump and Clinton, Do We Want the Us in Asia? Perspectives on America’s Role in Indonesia and the Asia Pacific’, tersebut dihadiri oleh mantan diplomat Indonesia, diplomat asing, dan mayoritas mahasiswa. Konferensi kebijakan luar negeri ini digelar oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI).

FPCI adalah sebuah organisasi yang didirikan oleh mantan duta besar Indonesia untuk Amerika Serikat Dino Patti Djalal pada 2014 silam. Lembaga tersebut mempunyai misi mempromosikan dan mempertajam internasionalisme positif Indonesia pada bangsa dan dunia.

Temukan juga kami di Google News.