Jakarta – Sidang kopi bersianida ke-15 dengan terdakwa Jessica Kumala Wongso kembali digelar Senin (29/8/2016) di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.

Dalam sidang kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin kali ini jaksa menghadirkan saksi dr. Prima Yudo dan dr. Ardiyanto dari Rumah Sakit Abdi Waluyo, Jakarta.

Kedua dokter tersebut yang menangani Mirna saat tiba di rumah sakit, tak lama setelah kejang-kejang di Kafe Olivier.

Pada saat itu keduanya mengaku melihat seorang laki-laki dan beberapa perempuan yang menunggu Mirna di ruang gawat darurat. Salah satu perempuan tersebut adalah Jessica.

Dokter Prima menjelaskan Mirna sudah tak bernapas saat tiba di rumah sakit. Kulitnya pun pucat, sementara denyut nadi juga sudah berhenti.

Ia mendapati pupil mata Mirna mengecil dan tidak merespons cahaya. Tindakan dia ketika itu adalah memberikan alat pacu jantung terhadap Mirna selama 15 menit dan memerintahkan perawat memasang oksigen. Dalam pemeriksaan itu, Prima membutuhkan waktu 30 menit–hingga pukul 18.30 WIB.

Ardiyanto sempat menduga Mirna meninggal akibat pecah pembuluh darah di dalam kepala. “Gejalanya mirip (dengan Mirna), akhirnya saya tawarkan untuk melakukan pemeriksaan CT Scan,” kata Ardiyanto.

CT Scan adalah suatu prosedur yang digunakan untuk mendapatkan gambaran dari berbagai sudut kecil dari tulang tengkorak dan otak.

Namun, setelah dilakukan pemindaian tulang tengkorak dan otak, hasilnya adalah normal. Meski begitu, daerah bibir terdapat tanda kebiru-biruan.

Ardiyanto mengaku tak cukup kapasitas untuk memeriksa lebih lanjut karena statusnya yang merupakan dokter umum. Dia menambahkan, membirunya bibir seseorang tidak serta merta mutlak disimpulkan keracunan.

Ada beberapa spekulasi lain yang juga bisa menimbulkan efek kebiruan pada bibir, misalnya pecahnya pembuluh darah pada otak dan penyakit jantung. “Kebiruan (pada bibir) paling sering karena pecahnya pembuluh darah di otak dan jantung, atau kemungkinan lain,” ujarnya.

Saat itu, kata Ardiyanto, Darmawan Salihin, orang tua Mirna, meminta sampel cairan lambung kepadanya karena menduga Mirna diracun. Karena itu dia sempat menawari Darmawan untuk melakukan autopsi pada jasad Mirna. Namun keluarga Mirna menolaknya.

“Saya sudah sampaikan, kalau merasa janggal bisa kami rujuk ke rumah sakit lain. Rumah sakit kami tidak memadai untuk autopsi,” ujar Ardiyanto.

Tapi pihaknya mengabulkan permintaan keluarga korban yang ingin melakukan pengambilan cairan lambung.

Dalam perkembangan kasusnya, keluarga korban akhirnya setuju dilakukan autopsi. “Kata polisi tidak akan ada penuntutan kalau tidak ada autopsi. Hasil autopsi yang akan menjelaskan,” kata Darmawan seperti dilansir dari Detik.com Januari lalu.

Selain memeriksa kondisi Mirna, tim dokter juga memeriksa temannya, Hani Boon, yang mencoba minum es kopi bersianida itu. Hasilnya, kondisi Hani normal, dan hanya diberi norit (obat diare) dan laktasium (obat pencahar) untuk membuang racun dalam tubuh.

Ardiyanto juga memeriksa fisik Jessica–yang diketahui bahwa kondisinya baik-baik saja, meski awalnya mengaku asma kepada tim dokter.

Sidang lanjutan kasus kematian Mirna Senin ini (29/8/2016) hanya berlangsung dua jam, yang merupakan sidang paling singkat dibandingkan persidangan-persidangan sebelumnya. Biasanya sidang berlangsung hingga malam hari, bahkan pernah mencapai 12 jam.

Temukan juga kami di Google News.