Jakarta – Wacana kenaikan harga rokok sebesar Rp 50.000 makin hangat-hangatnya diperbincangkan, bahkan wacana yang beredar di viral itu memanen pro kontra.

Berbagai alasan baik setuju maupun tak setuju itu mengiringi rencana Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan menetapkan harga rokok berlipat.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menegaskan bahwa buruh menolak keras wacana pemerintah tersebut dengan cara menaikkan harga cukai rokok.

“Kami menolak keras wacana pemerintah Jokowi naikkan harga rokok,” tegas Said, Senin (22/8/2016).

Said pun menyampaikan beberapa alasan ketidaksetujuannya tersebut yakni pertama, karena mahalnya harga rokok akan menurunkan daya beli orang membeli rokok akibatnya industri rokok akan menurunkan jumlah produksi rokok dan berujung ancaman PHK besar-besaran pekerja (die) industri rokok, apalagi 80% pekerja (die) industri rokok adalah outsourcing yang sudah puluhan tahun bekerja dan rentan PHK.

“Buruh setuju pertimbangan kesehatan menjadi prioritas tapi setiap kebijakan pemerintah harus komperhensip yang juga harus mempertimbangkan soal ketenagakerjaan,” ungkap dia.

Said melanjutkan, di tengah perlambatan pertumbuhan ekonomi, bertambahnya lebih 800 ribu orang miskin, dan naiknya angka pengangguran menaikkan harga cukai rokok dinilainya justru akan menambah angka pengangguran baru yang akan menimpa 4,7 juta buruh industri rokok dan 1,2 juta petani tembakau.

“Apakah pemerintah sudah menyiapkan lapangan kerja yang baru dan kebijakan diversifikasi baru buat petani tembakau. Pemerintah jangan hanya mau enaknya dan gampangnya saja mendapat dana tambahan cukai rokok, tapi tidak memikirkan nasib buruh industri rokok dan petani tembakau yang makin suram masa depan anak dan keluarganya,” beber dia.

Menurut Said, pihaknya tak percaya bahwa kenaikan cukai rokok itu akan digunakan oleh pemerintah dikonversikan untuk meningkatkan anggaran kesehatan. Sebab, kata dia, buktinya dari dulu KSPI mengusulkan agar dana cukai rokok digunakan untuk meningkatkan anggaran dan memperluas jumlah peserta JKN-KIS peserta PBI BPJS untuk orang miskin termasuk buruh penerima upah minimum tapi tak pernah disetujui.

“Jangan-jangan kebijakan menaikan harga rokok itu hanya akal-akalan menutupi kegagalan implementasi tax amnesty demi menambah defisit APBN. Tapi dipakai alasan demi kesehatan rakyat padahal pola kapitalis,” terang dia.

Lebih lanjut, Said mengaku mahalnya harga rokok legal tidak akan berhasil menekan konsumsi perokok karena akan memunculkan rokok selundupan dan rokok ilegal yang dijual murah karena pengawasan yang lemah.

“Menaikkan harga rokok berarti pemerintah menghisap darah rakyat kecil demi menaikkan pendapatan Triliunan cukai rokok karena jumlah perokok terbesar. Harusnya perkuat pendidikan dan kampanye bahaya merokok dan naikkan pajak penghasilan para pengusaha industri rokok,” tandasnya.

Temukan juga kami di Google News.