Jakarta – Youth Movement Institute (YMI) menilai gerakan perjuangan buruh di Indonesia selama ini selalu berupaya menginginkan kelayakan kesejahteraan buruh dan mengingatkan pengusaha dan pemerintah agar dalam melaksanakan hubungan industrial berlaku adil untuk kesejahteraan buruh.
Presedium YMI Reza Malik menyebut secara umum gerakan-gerakan buruh dapat dikelompokan kedalam kategorisasi yaitu pertama, gerakan buruh yang bertujuan untuk melakukan tawar-menawar secara kolektif (bargaining collective) sehingga mereka dapat berorganisasi dengan para pengusaha mengenai upah dan kondisi kerja yang adil dan manusiawi. Berikutnya, kata dia, gerakan buruh yang berorientasi untuk melakukan perlawanan tindakan industri, seperti pemogokan.
“Maka menjadi suatu rahasia umum ketika dari waktu ke waktu, masalah kenaikan Upah Minimum Regional (UMR) telah menjadi pokok masalah tuntutan buruh,” kata Reza saat diskusi publik bertema “Solidaritas Bersama Para Pekerja tahun 2016 Ditengah Lingkaran Kepentingan Para Tokoh Serikat Buruh” yang diinisiasi YMI di Gedung Joeang 45, Menteng Jakarta, Kamis (28/4/2016).
Namun demikian, lanjut Reza, pihaknya menyadari bahwa hambatan dan tantangan ketenagakerjaan Indonesia di era saat ini adalah lebih disebabkan karena angkatan kerja tidak sebanding dengan lapangan pekerjaan yang tersedia dan masih minimnya keterampilan pekerja.
“Kepentingan buruh, kepentingan serikat, dan pimpinan serikat buruh tidak selalu sama. Mereka bisa berjalan seiring, namun juga bisa bertentangan. Semakin serikat buruh bekerja secara demokratis dan berorientasi dari bawah keatas, maka keselarasan kepentingan masih lebih memungkinkan dipelihara,” kata Reza.
Reza melanjutkan, kesatuan kepentingan sebagai sesama buruh akan melampaui batasan organisasi dan bendera serikat, maupun perintah pimpinan serikat. Kesatuan identitas memungkinkan kaum buruh berbagi kepentingan sebagai sesama buruh.
“Apakah persatuan berbagai serikat buruh didalam berbagai konfederasi serikat buruh saat ini sudah mencerminkan kesatuan identitas buruh? Dan apakah rencana pembentukan partai-partai buruh merupakan ekstraksi kepentingan politik buruh dari bawah? Apakah wacana untuk mendirikan ormas atau partai buruh baru-baru ini berasal dari buruh?,” tanya Reza.
Bila tidak, tambah Reza, maka bisa jadi nantinya partai politik buruh ataupun partai kelas pekerja yang akan atau sudah terbentuk, hanya akan menjadi ‘partainya aktivis’ atau ‘partainya para pimpinan serikat buruh’.
Ditempat yang sama, Bakal Calon Gubernur DKI Jakarta Hasnaeni Moein akan berjanji jika kelak terpilih akan mengupayakan kenaikan upah buruh yang masih dibawah Upah Minimum menjadi naik ke angka 4,2 Juta bahkan 5 Juta.
“Sebagai satu-satunya calon dari kaum perempuan, dan berposisi sebagai Ibunya rakyat kecil akan memperhatikan seluruh komponen di Jakarta, terutama kalangan buruh. Khususnya upah akan saya naikkan jadi 5 juta,” beber dia.
Hal berbeda justru dilontarkan, Sekjen Barisan Insan Muda (BIMA) Syarief Hidayatullah yang menuding serikat buruh jika membuat partai politik maka yang justru sejahtera adalah para pimpinan serikatnya. Hal itu menyikapi fenomena kelompok buruh yang bakalan mendeklarasikan organisasi masyarakat (Ormas) yang akan bermetamorfosis sebagai partai politik buruh. Pasalnya, deklarasi itu akan digelar disaat momentum May Day 2016 di Gelora Bung Karno (GBK) Senayan.
“Dengan adanya intrik akan berpolitik di serikat buruh bahkan hendak mendirikan parpol maka yang cuma mensejahterahkan para Ketuanya saja, anggotanya sama saja,” kata Syarief.
Jadi menurut dia, lebih baik serikat buruh tetap urusin domain masalah kesejahteraan dan tidak usah ikut-ikutan dimanfaatkan dalam percaturan politik.
“Seharusnya serikat buruh tidak usah dimanfaatkan dalam dunia politik,” tegas Syarief yang juga anggota Perindo.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua FNPBI Lukman Hakim lebih menceritakan sejarah perburuhan di Indonesia dan membandingkan antara buruh di Cina dan Indonesia. Ia menyebut buruh masih ditunggangi dan sebagai alat politik.
“Yang terjadi di Indonesia sendiri kepentingan praktik politik memang masih melekat di jajaran buruh Indonesia,” tutur dia.
Lukman merasa miris dengan penghasilan buruh di Indonesia dengan jumlah waktu kerja sebanyak 12 jam hanya mendapatkan gaji yang kecil sehingga tidak menutupi kehidupan sehari-hari dan tak sejahtera. Sementara di Cina hanya waktu 8 jam tapi upah minimumnya tinggi.
“Serikat buruh saya rasa belum mampu mewakili suara buruh di Indonesia,” tukasnya.
Tinggalkan Balasan