Jakarta – Jaringan Aktivis Reformasi Indonesia (Jari 98) kembali mengkritisi pro kontra wacana pelibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam pemberantasan terorisme.
Ketua Presidium Jari 98 Willy Prakarsa menyebut pelibatan TNI dalam upaya pemberantasan teroris adalah suatu hal yang keliru lantaran TNI secara UU sudah diatur dalam UU TNI dalam Pasal No. 34 tahun 2004.
“Tugas TNI adalah sebagai bagian dari penjaga NKRI bukan penegakan hukum. Apabila DPR tetap memasukan TNI dalam pelibatan pemberantasan teroris maka ini adalah termasuk kemunduran demokrasi,” tegas Willy, saat ditemui di Gedung PP Muhammadiyah, Jakarta, Senin (25/7/2016).
Willy melanjutkan rencana pelibatan TNI yang ikut-ikutan menangani terorisme adalah cara berpikir mundur dan kontraproduktif dengan agenda reformasi. Tidak ada urgensi menambah atau memperluas tugas pokok dan fungsi TNI melalui revisi Undang-undang (UU) Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
“Revisi UU yang satu ini tidak boleh kebablasan pemanfaatan oleh negara atas kekuatan dan kemampuan TNI harus tetap berpijak pada UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dan UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara,” terang dia.
Dijelaskan Willy, hal yang mencakup dalam kebijakan dan strategi nasional penanggulangan terorisme sangatlah luas. Termasuk langkah pencegahan, perlindungan, deradikalisasi, penindakan, penyiapan kesiapsiagaan nasional dan kerja sama internasional.
“Kalau TNI dilibatkan dalam tugas memerangi tindak pidana terorisme, konsekuensi logisnya pun akan sangat luas dan prinsipil. Semua konsekuensi itu harus dipatuhi dan dijalankan, karena penanganan pidana terorisme masuk dalam kerangka penegakan hukum,”ucapnya.
Menurut Willy, menjadi mustahil jika TNI ditugaskan menangani teroris. Bukankah teroris yang ditangkap akan diproses secara hukum dan dihadapkan ke pengadilan.
“Kalau TNI menangkap teroris, proses hukumnya dilaksanakan oleh siapa?,” terang dia.
Willy juga menilai aneh jika TNI ikutan ngotot menangani terorisme. Sebab, kata dia, teror sesuai difinisinya adalah membangkitkan kekuatan. Namun teror bukanlah perang karena yang menjadi sasaran adalah masyarakat sipil. Artinya, dalam hal ini keterlibatan militer pun harus dibatasi.
“Teror adalah ranah sipil, maka harus ada proses hukum, harus ada akuntabilitasnya, mengapa seseorang mati dan siapa yang membunuhnya?,” jelas dia.
Dikatakan dia, revisi UU Terorisme yang sedang dilakukan DPR sebaiknya tetap kembali kepada criminal justice system. Aneh jika pemerintah melakukan pendekatan perang sebagai criminal justice system.
“Sektor pertahanan menjadi domain TNI, sedangkan sektor keamaanan menjadi kewenangaan Polri,” bebernya.
Selain itu, sambung Willy, pihaknya telah menemukan ada kelemahan dalam draft Revisi UU Pemberantasan Terorisme tersebut. Dalam draft itu tidak dijelaskan pemikiran filosofis ideologi yang berkualitas dan tidak berbasis pada UUD 1945.
“Jadi saya pikir tidak perlu menarik dan melibatkan TNI dalam pelibatan pemberantasan teroris, biarkan TNI menjaga marwahnya sebagai penjaga NKRI,” tandasnya.
Tinggalkan Balasan