Jakarta – Setara Institute mendesak Kapolri Tito Karnavian untuk bisa menjelaskan peristiwa mahasiswa Papua di Yogyakarta secara gamblang agar kepercayaan publik tidak segera luntur di masa kepemimpinannya.
“Memang, Tito punya pandangan agak konservatif perihal pembatasan HAM, seperti dalam kasus teorisme. Tetapi, membiarkan tindakan kekerasan terus menerus terhadap warga Papua adalah tindakan pelanggaran HAM dan bertentangan dengan semangat Jokowi yang berkali-kali menegaskan hendak mengatasi persoalan Papua secara holistik,” ungkap Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani, Senin (18/7/2016).
Lebih lanjut, Pengajar Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah mendorong Polri untuk bertindak adil dengan menghukum anggota ormas yang melakukan kekerasan. Apapun argumen ormas tersebut, rasisme, hate speech, dan kekerasan telah secara nyata diperagakan.
“Tindakan main hakim sendiri (vigilantisme) adalah pelanggaran hukum,” tuturnya.
Ismail menjelaskan demonstrasi adalah bentuk kebebasan berekspresi apapun tema yang disampaikannya. Bahkan aspirasi pembebasan Papua juga sah untuk disampaikan dalam sebuah demonstrasi sebagai bentuk protes atas ketidakadilan yang dialami oleh warga Papua. Selama demonstrasi itu disampaikan secara damai dan tidak adanya tindakan permulaan yang menunjukkan adanya makar, maka polisi apalagi ormas tidak boleh membatasi, melarang, dan menghakimi dengan kekerasan.
“Penggunaan ormas tertentu atau pembiaran ormas dalam menghadapi aspirasi masyarakat yang berbeda adalah modus lama yang ditujukan untuk membersihkan tangan polisi sebagai aparat keamanan. Dengan melibatkan atau membiarkan ormas, maka Polisi terhindari dari tuduhan melakukan kekerasan. Padahal, membiarkan seseorang atau ormas melakukan kekerasan adalah tindakan pelanggaran HAM (violation by omission),” pungkasnya.
Tinggalkan Balasan