Jakarta – Wakil Rektor Universitas Bung Karno (UBK) Teguh Santosa menyebut protes yang dialamatkan Agung Podomoro Land (APL) dan anak perusahaannya Muara Wisesa Samudera (MWS) pada pemerintahan pusat terkait pembatalan pembangunan pulau G adalah salah alamat.
“Kalau mau protes, seharusnya APL dan MWS mengalamatkan protes itu pada Pemprov DKI Jakarta yang mengabaikan aturan dalam pelaksanaan reklamasi,” ungkap Teguh Santosa, Minggu (3/7/2016).
Dijelaskan alumni University of Hawaii at Manoa (UHM), Amerika Serikat, pembatalan pembangunan pulau G yang disampaikan Menko Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli adalah koreksi pemerintah pusat terhadap pelaksanaan reklamasi untuk menciptakan kepastian dunia usaha. Pasalnya, Indonesia membutuhkan investasi untuk menggerakkan roda ekonomi. Tetapi yang juga pasti, investasi tersebut haruslah sejalan dan peraturan yang ada dan bermanfaat untuk masyarakat banyak.
“Tidak pada tempatnya APL dan MWS menyampaikan kekecewaan kepada pemerintah pusat. Seharusnya kekecewaan itu dialamatkan kepada Pemprov DKI Jakarta dan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama yang memberikan izin pembangunan pulau G dengan mengabaikan peraturan yang ada,” beber dia.
Alumni Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung itu mengingatkan jika Pemprov DKI Jakarta dan Gubernur Ahok memiliki itikad yang baik dalam mereklamasi kawasan utara Jakarta, seharusnya pihak Pemprov DKI yang mengambil keputusan penghentian pembangunan pulau G. Tidak perlu menunggu Presiden atau Menko Kemaritiman dan Sumber Daya turun tangan untuk menghentikan.
Di sisi lain, lanjut dia, pihak APL dan MWS perlu menjadikan kasus ini sebagai pelajaran penting agar di masa mendatang ekstra hati-hati dan tidak asal ikut proyek yang melanggar aturan.
“Dari sudut pandang ini, saya kira APL dan MWS, kalau tidak mengetahui berbagai pelanggaran yang sudah disebutkan oleh pemerintah, adalah korban dari ambisi Pemprov DKI Jakarta dan Ahok yang mengabaikan peraturan,” tuturnya.
Selain itu, tambah dia, boleh saja Agung Podomoro mengatakan tunduk pada Pemprov DKI Jakarta. Tetapi harus diingat, tidak ada negara di dalam negara. Otoritas tertinggi NKRI adalah pemerintah pusat.
“Kalau Pemprov DKI memaksakan kehendak, itu bisa dianggap melawan pemerintahan nasional yang sah,” pungkasnya.
Tinggalkan Balasan