Sudah lazim terjadi di media sosial (medsos) begitu gampangnya orang melancarkan tuduhan: menghina Islam. Terakhir saya melihat tuduhan ini ditujukan kepada intelektual muda NU di Amerika Serikat, Akhmad Sahal, ketika memberikan logika minimalis bahwa menolak Perda Syariah bukanlah berarti anti dengan syariah.

Apa yang tidak menghina Islam ketika anti dengan Syariah? Di linimasa saya melihat ada komentator logika Sahal itu, “Perda Syariah memang perda, bukan syariah. Tapi mendukung pembatalan Perda Syariah bisa dinilai anti syariah.”

Bak bola liar, komentar-komentar prematur yang sifatnya apriori — termasuk yang merendahkan dan menyerang pribadi Sahal — pun tak kalah bermunculan untuk membikin Sahal bulan-bulanan “netizen yang budiman”.

Tulisan ini terdorong dari sebuah komentar susulan terhadap Sahal yang sepertinya cukup perlu untuk ditegur karena sudah kelewatan,

A: “Kok Sahal mengaku Islam tapi menentang syariat?”

B: “Mungkin mau murtad tapi masih malu-malu.”

A: “Apa karena Perda Syariah tidak ada dollar-nya, ya?”

Sebagai seorang muslim/ah yang ikut-ikutan berkomentar sedemikian kumuhnya tanpa tahu pangkal persoalan, saya memiliki keyakinan puasanya batal. Atau paling tidak, ia termasuk golongan yang puasanya diberi kriteria oleh Baginda Rasul: “Puasanya hanya mendapatkan haus dan lapar.” (wal ‘iyadzu bilLah)

Apa yang menimpa Sahal adalah bukti faktual betapa kronisnya sebuah penyakit. Sulit menolak bahwa penderitanya di negeri ini tidak ada, dan karena mereka sangat vokal dan cukup artikulatif jadi saya khawatir lebih banyak umat muslim Indonesia akan terjangkit pula. Penyakit yang menjangkiti mereka ini adalah “tumor kegagalan menangkap gagasan.”

Jauh sebelum Sahal, pada tahun 1935, Hadlratus Syaikh Hasyim Asy’ari (pendiri NU) sudah ngotot dengan gagasan tidak perlunya Indonesia menjadi negara Islam hanya demi menjalankan syariat Islam.

“Biarkan masyarakat menjalankan syariat (sendiri), bukan karena diatur oleh negara,” kata Gus Dur, yang tidak lain adalah cucu pendiri NU.

Jika asumsi tuduhan kepada Sahal diterapkan pula kepada Hadlratus Syaikh, bukankah NU itu “mBahnya anti syariat”?

NU dari dulu hingga sekarang memiliki gagasan tidak akan pernah mempermasalahkan ideologi Pancasila sebagai landasan bernegara, sementara Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab secara konyol dan ahistoris menuntut dikembalikannya Pancasila versi Piagam Jakarta.

Bagi NU, Pancasila sudah sangat final dan Islami, tak perlu lagi syariat Islam diformalkan menjadi ideologi negeri ini. Jadi alangkah sangat tidak mengagetkan ketika Akhmad Sahal, yang memang kecil dan besarnya dari lingkungan NU, meniru prinsip dasar yang sama.

Logika Sahal, saya duga, tak jauh-jauh seperti alasan kuyaha (para sesepuh kiai NU): berangkat dari ragam agama yang dianut masyarakat, maka jangan membikin aturan (daerah) yang hanya berdasarkan Islam. Mencoba-coba menerapkan syariat dalam sebuah aturan (daerah) jika sampai bertentangan dengan UUD adalah sebuah kezaliman. Tidak ada yang islami dalam sebuah kezaliman. Apakah pantas jika penegakan syariat Islam dilakukan secara tidak islami?

Harus benar-benar dibedakan, mengutip istilah Abdul Azis Sachedina, antara “kebenaran agama” (al-haqiqah al-diniyyah) dan “fanatisme agama” (al-ta’ashshub al-diniyyah).

Jika Allah menghendaki, maka seluruh manusia akan dijadikan umat yang beriman semua (QS. Yunus: 99). Faktualnya: umat manusia memiliki keimanan yang beragam macamnya. TIap-tiap pemeluk agama berhak meyakini “kebenaran agamanya”. Jika sampai “kebenaran agama” terobsesi untuk mendominasi dan mengalahkan (lebih-lebih memusuhi) agama lain, maka ia adalah “fanatisme agama”. Fanatisme akan selalu melahirkan permusuhan. Permusuhan selalu memakan korban. Maka di dalam fanatisme tidak akan pernah ada kebaikan.

Inilah logika minimalis para kuyaha yang muncul secara dramatis sewaktu membidani Indonesia, sehingga cukuplah Pancasila sebagai landasan negara, bukan berasaskan Islam saja.

Sampai di sini, Anda dapat menangkap maksud saya dari konyolnya Habib Rizieq dengan “menagih” Piagam Jakarta? Anda tak perlu ragu pertimbangan yang menjadi landasan kuyaha di atas kurang begitu Islam, karena stabilitas nasional adalah maksud dan tujuan diturunkannya Islam sebagai rahmat seluruh alam.

Apakah rahmat akan datang jika fanatisme Islam bermaksud untuk “menguasai” Indonesia? Apakah Anda yakin pemeluk agama lain tak akan menuntut hal yang sama? Bagaimana jadinya Indonesia jika antar dua keinginan mendominasi ini saling berbenturan,apakah Anda sudah siap akibatnya?

Kaidah fikih mengatakan: Dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih (menghindari kemudaratan jauh didahulukan daripada mendatangkan kemaslahatan). Tepat pada di sini, umat muslim yang ngotot akan perda Syariah sedang terkelabui oleh formalisasi syariah itu sendiri. Ia sedang terjangkit penyakit delusi. Jika sampai menganggap para penolak pemikirannya ini sebagai murtad atau terindikasi menolak Syariat, maka mereka sedang terjangkit komplikasi.

Suatu ketika Abu Yazid Al-Bustami didatangi Baginda Nabi dalam mimpi. “Sampaikan salamku pada Fulan di kota ‘X’.” Kata Nabi. Dan segeralah Abu Yazid ke kota X, mencari Fulan yang belum pernah dikenalnya.

Betapa kagetnya Abu Yazid ketika sesampainya di kota X ia mendapati rumor bahwa Fulan adalah pemabuk kelas berat. Tak sulit menemukan Fulan, karena seluruh kota X sangat mengenal tempat ia nongkrong sambal mabuk-mabukan. Seketika Abu Yazid ragu: “Mana mungkin Baginda Nabi menitipkan salam kepada orang semacam ini?” Dan Abu Yazid pun berlalu.

Baginda Nabi pun mendatangi Abu Yazid untuk kali kedua. “Kenapa belum kau sampaikan salamku padanya?”, begitu tagihnya. Menagih untuk hal yang sama, Abu Yazid tak ambil pusing untuk menunaikannya. Maka kembalilah ia ke kota X, menemui Fulan yang tak jadi ia temui sebelumnya.

Si Fulan sedang bergurau bersama rekan peminum kelas berat lainnya. Melihat Fulan larut dalam mabuknya, Abu Yazid kembali ragu untuk mendekatinya. Ia membalikkan badan, dan terdengar seseorang memanggil namanya.

“Wahai, Abu Yazid!” seketika ia kaget, ternyata yang memanggilnya adalah si Fulan.

Fulan mempersilakan Abu Yazid duduk sembari memperkenalkan rekan-rekan peminumnya. Setelah selesai, ia dibawa agak minggir untuk berbicara empat mata.

“Kau membawa titipan untukku?” tanya Fulan.

“Betul. Baginda Nabi menitipkan salam untukmu, ‘Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh’,” jawab Abu Yazid.

“Wa’alaikum salam warohmatullahi wabarokatuh,” mata Fulan berkaca-kaca.

“Begini,” lanjut Fulan, “Kawan-kawanku pemabuk ini dulunya berjumlah 40 orang. Sekarang tinggal 8. Nah, yang tersisa ini adalah ‘jatahmu’, Abu Yazid.”

Fulan meninggalkan Abu Yazid bersama orang-orang teler. Bagaimana ini, ada wali nongkrong bersama pemabuk kenapa malah tidak di-sweeping FPI?

Rumail Stakof Abbas, GusDurian Jepara

Temukan juga kami di Google News.